Gambaran organisasi Puskesmas berdasarkan skema Mintzberg
Yang sesuai dengan kondisi organisasi saat ini
| |||
Top
|
Kepala Daerah (Bupati)
|
Kepala Daerah
(
|
Kepala Daerah
(
|
Middle
|
Kepala Puskesmas
|
Kepala Puskesmas (Direktur BLUD)
|
Kepala Puskesmas (Direktur BLUD)
|
(
(kesling, promkes, gizi, surveilan )
|
(
(kesling, promkes, gizi, surveilan )
| ||
Eksternal : Kemenkes, Kemendagri,Kemenkeu, Pemda (Bupati, DPRD).
Bentuk standar : Permenkes, Permendagri, Perbup, Perda,Juknis,dsb
Internal
Bentuk standar : Pedoman, SOP, dl.
|
Eksternal : Kemenkes, Kemendagri,Kemenkeu, Pemda (Bupati, DPRD).
Bentuk standar : Permenkes, Permendagri, Perbup, Perda, Juknis,dsb.
Internal
Bentuk standar : Pedoman, SOP, dll.
| ||
Laboran, apoteker, tata usaha.
|
Laboran, apoteker, tata usaha.
|
Laboran, apoteker, tata usaha.
| |
Puskesmas merupakan organisasi pemerintah di daerah. Fungsi top manajer Puskesmas adalah Kepala Daerah yaitu Bupati. Bupati (selaku eksekutif) memiliki kewenangan dan kebijakan tertinggi atas Puskesmas. Meskipun selain Bupati ada DPRD, tetapi dalam eksekutif peran Bupati lebih dominan. Bupati berwenang dan bertanggung jawab dalam hal mengatur dan menjalankan Puskesmas. DPRD hanya mempunyai peran kecil terutama dalam monitoring dan evalusi kegiatan Puskesmas.
Untuk menjalankan fungsi manajer pelaksana, Bupati menunjuk seorang Kepala Puskesmas. Kepala Puskesmas bertugas secara teknis menjalankan segala fungsi kepuskesmasan. Dengan adanya sistem BLUD, Kepala Puskesmas mempunyai fungsi sekaligus sebagai Direktur BLUD tingkat Puskesmas. Fungsi ini memberikan kesempatan lebih fleksibel bagi Kepala Puskesmas untuk mengembangkan Puskesmas. Sumber daya keuangan yang dialokasikan oleh Pemda ke Puskesmas, dapat dikelola secara lebih mandiri oleh Puskesmas dan dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan sumberdaya yang lain seperti ketercukupan SDM, pemenuhan alat, pemenuhan obat, dan sarana lainnya. Bila tidak terbentur regulasi eksternal yang sangat kaku (misalnya aturan BPJS untuk jenis obat, jenis diagnosa,dsb), Kepala Puskesmas dapat lebih kreatif membuat organisasinya berkembang, kompetitif , dan inovatif.
Pekerja inti di Puskesmas ada dua macam yaitu nakes klinis dan nakes non klinis. Karena Puskesmas mempunyai dua fungsi upaya yaitu Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), maka pekerja inti pun ada dua macam, klinis dan non klinis. Nakes klinis terdiri dari dokter, bidan, dan perawat. Tenaga ini lebih banyak menjalankan fungsi di UKP. Bidan dan perawat di sebagian besar Puskesmas termasuk sebagai tenaga inti, karena keterbatasan jumlah dokter sehingga bidan dan perawat masih memegang peran penting di Puskesmas. Nakes non klinis antara lain sanitarian, promkes, petugas gizi, dan survelan. Nakes ini sebagai tenaga inti bidang UKM dan mereka lebih banyak bertugas di lapangan di lingkup masyarakat.
Pembuat standar yang digunakan Puskesmas yaitu : eksternal (Kemenkes, Kemendagri, Kemenkeu,Pemda), internal Sekretariat Mutu Puskesmas. Standar digunakan sebagai acuan dalam pemenuhan ketentuan Kepuskesmasan, pengelolaan SDM, pengelolaan keuangan, Pedoman kerja UKM dan UKP, dan berbagai kepentingan dan kebutuhan lainnya.
Sebagai pendukung kerja Puskesmas yaitu laboran, apoteker, dan petugas tata usaha. Fungsi ini mendukung berbagai kegiatan Puskesmas baik UKM, UKP, maupun administrasi dan manajemen.
Klien Puskesmas yaitu individu dan masyarakat. Dengan adanya sistem kerja Puskesmas yang berbasis kewilayahan maka klien Puskesmas yaitu individu dan masyarakat, baik yang sakit maupun yang sehat. Puskesmas bertugas melayani klien ini dengan upaya – upaya promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
Jika dipandang secara umum, organisasi Puskesmas memang lebih berbentuk organisasi birokrat mesin. Organisasi yang kaku kurang bebas berkreasi dan berinovasi, kecuali sangat sedikit. Sebenarnya dengan adannya sistem BLUD, Puskesmas bisa lebih berkembang menjawab perubahan lingkungan baik tuntutan klien maupun kompetitor. Namun yang terjadi adalah aturan-aturan eksternal lebih dominan berlaku meskipun itu kaku dan tidak sesuai kondisi di lapangan. Kesepakatan-kesepakan yang dibuat sebagai aturan internal sendiri sering menjadi mandul, sulit diaplikasikan. Sebagai contoh, dalam upaya peningkatan mutu Puskesmas, Puskesmas membuat standar kompetensi karyawan. Standar tersebut dibuat cukup rinci dengan acuan yang baku, mulai dari syarat kompetensi pimpinan puncak hingga staf biasa. Namun pada kenyataannya pimpinan puncak dapat diisi oleh siapa saja sesuai kemauan Kepala Daerah meski kompetensinya belum tentu memenuhi syarat.
Sri Surahmiyati KMPK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar