Pengorganisasian pelayanan msaalah gizi(stunting) dalam beberapa versi

Pengorganisasian pelayanan  masalah gizi  dalam beberapa versi

Tri Siswati



Versi 1
Versi 2
Versi 3
Versi 4
Top decision makers
Direktur RS
Kepala Bagian Keperawatan
Kepala Puskesmas
Ahli Gizi Puskesmas
Middle manager
Kepala Bagian Keperawatan
Kepala Bagian Kesehatan/keperawatan Anak dan Tumbuh Kembang  Anak
Ahli Gizi Puskesmas
Kader Posyandu
Pembuat standar
Kepala Bagian Keperawatan
Kepala Bagian keperawatan
Ahli gizi puskesmas
Ahli gizi puskesmas
Pendukung
Kabid keperawatan, bagian/instalasi gizi
Kabid keperawatan, bagian/instalasi gizi
dokter, perawat, ahli gizi, Bidan desa, sanitarian
kader, bidan desa
Operating care
Kepala instalasi gizi
Perawat, dokter, ahli gizi
Kader Posyandu
Kader Posyandu
Client
Pasien balita stunting (dengan komplikasi) yang menjalani  rawat inap
Pasien balita stunting (dengan komplikasi) yang menjalani rawat inap
Balita stunting
Balita stunting



        Struktur organisasi pelayanan masalah gizi khususnya masalah stunting dalam health system dapat berbasis rumah sakit (apabila pasien balita stunting dengan komplikasi dirawat di rumah sakit) maupun di Puskemas bahkan berbasis komunitas (Posyandu) pada balita stunting tanpa komplikasi dan tidak dirawat di rumah sakit.
        
Versi-1.
        Struktur organisasi pelayanan masalah gizi versi pertama, dengan klient pasien balita stunting yang dirawat dengan komplikasi, yang berperan sebagai top decision maker adalah Direktur RS. Tugas teknis sekaitan dengan penanggulangan atau pelayanan masalah balita stunting dengan komplikasi akan diserahkan kepada kepala bagian keperawatan. Pemberi layanan utama dalam versi ini adalah kepala unit keperawatan dan bagian/instalasi gizi.

Versi-2.
      Sedangkan versi kedua adalah kepala divisi keperawatan sebagai top manager/top decision maker. Kebijakan dibuat oleh kepala devisi keperawatan, dengan pendukungnya adalah team di bagian keperawatan dan instalasi gizi. Tim pelaksana penanggulangan masalah stunting ini adalah perawat, dokter dan ahli gizi, atau bagian lain sekaitan dengan komplikasi yang diderita balita, dan klient adalah pasien balita yang dirawat di RS.

Versi-3.

        Stuktur ke-3 adalah penanggulangan stunting di Puskesmas, sehingga senagai top managers adalah Kepala Puskesmas.  Sebagai middle manager sekaligus pembuat kebijakan adalah ahli gizi puskesmas. Komponen pendukung adalah dokter, bidan, perawat dan sanitarian. Operating core dalam hal ini adalah kader posyandu yang selalu berkoordinasi dengan ahli gizi puskesmas, dan klient nya adalah balita stunting yang tinggal bersama keluarganya/ayah ibunya.

Versi-4.
           
            Balita stunting adalah klient. Pemegang peran utama struktur organisasi versi ini adalah Ahli Gizi Puskesmas, yang bertindak sebagai top manager dan pembuat kebijakan. Dalam tugasnya  ahli gizi puskemas didukung oleh bidan desa dan kader Posyandu.

Stunting adalah masalah gizi kronik, dan sangat jarang orang tua Balita merasa stunting adalah masalah kesehatan yang berkaitan dengan masalah saat ini dan masalah yang lebih serius nantinya. Sehingga dalam masalah ini petugas kesehatan termasuk kader posyandu diharapkan lebih aktif untuk mempromosikan dan memberikan edukasi kepada calon orang  tua dan orang tua yang mempunyai balita stunting. Stunting juga sangat jarang ditemukan dengan komplikasi, biasanya balita dirawat karena komplikasinya, dan bukan stuntingnya.
Penanganan balita stunting juga tidak mudah karena penanganan yang salah akan memberi risiko masa depan terkait penyakit obesitas dan risiko penyakit degenerative lainnya.

Dari ke 4 versi tersebut, versi ke 3 dan 4 versi paling ideal menurut saya. Deteksi dini sebaiknya  berbasis masyarakat, sehingga kader posyandu dituntut untuk lebih peka terhadap balitanya. Permasalahannya, tidak setiap posyandu melakukan  pengukuran tinggi badan pada balita nya, berbeda dengan berat badan yang  dilakukan setiap bulan.

Untuk menjaring kasus balita stunting, Puskesmas hendaknya lebih kreatif, dengan memberikan pelatihan sederhana kepada kader tentang pengukuran tinggi badan balita, sefrta memberoikan fasilitas yang memadai,  sehingga kader bisa menerapkan pengukuran tinggi badan  di Posyandu, meskipun pengukurannya tidak harus  dilakukan setiap bulan (3 bulanan misalnya).

Meja konsultasi di Posyandu sebaiknya juga dilaksanakan secara aktif, dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga ibu hamil bisa berkonsultasi dan  mengantisipasi sejak dini factor risiko stunting, dan bagi ibu balita dapat menangkap peluang 'window of opportunity' yang memungkinkan balita recatch-up dengan lingkungan tumbuh yang kondusif sehingga mampu mengejar ketertinggalan pertumbuhan yang berdampak pada perkembangan dan masa depannya di kemudian.